Minggu, 23 Mei 2010

Obsesi Pada Akhirat


Sabda Rasulullah SAW
, “Barangsiapa akhirat menjadi obsesinya, maka Allah menjadikan semua urusannya lancar, hatinya kaya dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Dan, barangsiapa dunia menjadi obsesinya, maka Allah mengacaukan semua urusannya, menjadikannya miskin dan dunia datang kepadanya sebatas yang ditakdirkan untuknya.” Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad shahih

Barangsiapa akhirat menjadi kesibukan utamanya dan obsesinya, maka setiap hari ia ingat perjalanan hidupnya kelak, apa pun yang ia lihat di dunia pasti ia hubungkan dengan akhirat, dan akhirat selalu ia sebut di setiap pembahasannya. Ia tidak bahagia kecuali karena akhirat, tidak sedih kecuali karena akhirat. Tidak ridha kecuali karena akhirat. Tidak marah kecuali krn akhirat. Tidak bergerak, kecuali karena akhirat. Dan tidak berusaha kecuali krn akhirat.

Siapa saja yang bisa seperti itu, ia diberi tiga kenikmatan oleh Allah Ta’ala. Nikmat yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki diantara hamba-hambaNya. Yaitu orang-orang yang menyiapkan jiwa mereka hanya untuk ALLAH Ta’ala dan tdk ada selain DIA yang masuk ke hati mereka, baik itu berhala-berhala dunia, atau perhiasan, atau pesonanya.

Nikmat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Seluruh urusan lancar
Allah SWT memberinya ketentraman dan kedamaian, mengumpulkan semua idenya, meminimalkan sifat lupanya, mengharmoniskan keluarganya, menambah jalinan kasih sayang antara dirinya dan pasangannya, merukunkan anak-anaknya, mendekatkan anak2 padanya, menyatukan sanak kerabat, menjauhkan konflik dari mereka, mengumpulkan hartanya, ia tidak pusing memikirkan bisnisnya yg tdk begitu baik, tidak bertindak spt orang bodoh, membuat hati manusia terarah padanya, siapapun mencintainya dan melancarkan urusan-urusan yang lain.

2. Kaya hati

Nikmat yang paling agung adalah kaya hati, sebab Rasulullah SAW bersabda dalam hadits shahih, yg artinya; “ Kekayaan hakiki bukan berarti harta melimpah. Tapi, kekayaan ialah kekayaan hati” (HR. Muslim)

Imam Al Manawi berkata; maksudnya, kekayaan terpuji itu bukan banyak harta dan perabotan. Sebab banyak sekali orang dibuat kaya oleh Allah, namun kekayaannya yg banyak itu tidak bermanfaat baginya dan ia berambisi menambah kekayaannya, tanpa peduli dari mana sumbernya.

Ia seperti orang miskin, karena begitu kuat ambisinya. Orang ambisius itu miskin selama-lamanya. Tapi, kekayaan terpuji dan ideal menurut orang-orang sempurna adalah kekayaan hati.

Di riwayat lain disebutkan kekayaan jiwa. Maksudnya, org yang punya kekayaan jiwa merasa tidak membutuhkan jatah rizkinya, menerimanya dengan lapang dada, dan ridha dengannya, tanpa memburu dan memintanya dengan menekan.

Barangsiapa dijaga jiwanya dari kerakusan, maka jiwanya tentram, agung, mendapatkan kebersihan, kemuliaan, dan pujian. Itu semua jauh lebih banyak ketimbang kekayaan yang diterima orang yg miskin hati. Kekayaan membuat org yg miskin hati terpuruk dalam hal-hal hina dan perbuatan-perbuatan murahan, karena kecilnya obsesi yang ia miliki. Akibatnya, ia menjadi org kerdil di mata orang, hina di jiwa mereka, dan menjadi orang paling hina.

Jika seseorang punya harta yang berlimpah, namun ia tidak qana’ah (merasa cukup) dengan rizki yang diberikan Allah SWT kpdnya, maka ia hidup terengah-engah spt binatang buas dan menjadikan hartanya sbg tuhan baru. Sungguh, ia orang miskin sejati, karena orang miskin ialah orang yang selalu tidak punya harta dan senantiasa merasa membutuhkannya.
Dikisahkan, seseorang berkata kepada orang zuhud, Ibrahim bin Adham, lalu berkata, “saya ingin anda menerima jubah ini dariku.” Ibrahim bin Adham berkata,”Kalau Anda kaya, saya mau menerima hadiah ini. Jika anda miskin, saya tdk mau menerimanya.” Orang itu berkata,”saya org kaya.”

Ibrahim bin Adham berkata,”Anda punya jubah berapa?” Orang itu menjawab,”Dua ribu jubah.” Ibrahim bin Adham berkata,”Apakah Anda ingin punya empat ribu jubah?” Orang itu menjawab, “Ya.” Ibrahim bin Adham berkata,”Kalau begitu anda miskin (karena masih butuh jubah lebih banyak lagi). Saya tidak mau menerima hadiah jubah ini darimu.”

3. Dunia datang kepadanya
Saat ia lari dari dunia, justru dunia mengejarnya dalam keadaan tunduk. Spt yg dikatan Ibnu Al-jauzi,” Dunia itu bayangan. Jika engkau berpaling dari bayangan, maka bayangan itu membuntutimu. Jika engkau memburu bayangan, maka bayangan menghindar darimu. Orang zuhud tidak menoleh kepada bayangan dan malah diikuti bayangan. Sedang org ambisius (rakus) tidak melihat bayangan setiapkali ia menoleh kepadanya.”

Sedang orang yang dunia menjadi obsesinya, ia hanya memikirkan dunia, bekerja karenanya, peduli kepadanya, tidak bahagia kecuali karenanya, tidak berteman dan memusuhi orang karenanya. Akibatnya, ia dihukum Allah dengan tiga hukuman;

1. Urusannya kacau
Allah SWT mengacaukan semua urusannya. Hatinya menjadi gundah tidak tenang, pikirannya kacau, jiwanya guncang dan kalut dalam hal yg sepele. Allah SWT mengacaukan hartanya, mengacaukan anak-anak dan pasangannya. Allah SWT membuat manusia antipati kepadanya. Tidak ada seorngpun yang mencintainya sebab Allah SWT menentukannya dibenci orang di bumi.

2. Selalu miskin
Hukuman ini membuatnya selalu tidak puas, padahal memiliki harta banyak. Ia senantiasa merasa miskin. Dan itu menjadikannya lari hingga terengah-engah di belakang harta.

3. Dunia lari darinya
Dunia selalu lari darinya. Ia memburu dunia tapi malah dijauhi dan ia berlari dibelakangnya, persis seperti orang yang mengira fatamorgana itu air. Ketika ia tiba di fatamorgana, ia tidak mendapatkan apa-apa.

Inilah yang membuat Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu berkata, “Obsesi dunia itu kegelapan di hati, sedang obsesi kepada akhirat itu cahaya di hati.”

Bagaimana karakteristik dari orang-orang yang terobsesi pada akhirat?
Kita bisa mengukur dengan membandingkannya pada diri kita.
Sebelumnya mengenai hal ini ada tiga kelompok orang dalam berobsesi thd akhirat:

1. Orang yang lebih sibuk dengan akhirat daripada dunia.

Mereka mebuat hidupnya didominasi oleh akhirat. Dunia hanya diletakkan digenggaman tangannya bukan di hatinya. è kelompok orang yang sukses

2. Orang yang lebih sibuk dengan dunia daripada dengan akhirat
Mereka begitu cinta dunia hingga dunia menguasainya dan membuatnya lupa total kepada akhirat dan mereka juga tidak tahu bahwa dunia itu jembatan menuju akhirat. è kelompok orang yang celaka

3. Orang yang sibuk dengan keduanya sekaligus.
Mereka tidak ingin masuk pada kelompok pertama atau kedua, namun ingin mendapatkan sebagian karakteristik kelompok pertama dan sebagian kelompok kedua. è kelompok orang yang dalam kondisi kritis.

Tentunya kita tidak ingin masuk ke dalam kelompok kedua dan ketiga, karenanya kita perlu mengetahui karakteristik kelompok pertama yaitu orang-orang yang sukses.
Karakteristik dari kelompok pertama antara lain:
1. Sedih karena akhirat
Sedih karena akhirat membuat orang punya perasaan takut Allah Ta’ala meng-hisab dirinya pd Hari Kiamat, lalu ia meng-hisab dirinya sebelum ia dihisab kelak di akhirat.
2. Selalu mengadakan Muhasabah (evaluasi diri)
Umar bin Khattab Ra berkata “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan, bersiap-siaplah menghadapi Hari Kiamat.”

3. Selalu beramal utk akhirat
Amal shalih bukan hanya shalat, puasa, membaca Al-qur’an dan dzikir, tapi amal shalih adalah apa saja yang dicintai Allah Ta’ala.

4. Trenyuh melihat pemandangan kematian

Seorang tabi’in Ibrahim An Nakhai berkata, “Jika kami datang ke rumah orang yang meninggal atau mendengar ada orang yang meninggal dunia, hal itu membekas pada kami hingga berhari-hari, karena kami tahu ada sesuatu (ajal) datang pada org tersebut, lalu membawanya ke surga atau neraka”

Itulah pengingat bagi kita semua, bahwa sesungguhnya kehidupan ini adalah sarana untuk kembali kepada Allah, sekolah yang raportnya nanti akan dibagikan di akhirat. Mari kita sama-sama mengevaluasi diri kita, selalu meluruskan niat kita hanya kepada Allah dan berdoa kepada memohon ketetapan iman di hati sampai pada hari penutup kita nanti.
“Yaa muqollibalquluub tsabbit qolbiy alaa diinika” Wahai Dzat yang membolak-balik hati, kokohkan hatiku tetap berada di atas agamamu.

Wallahu’alam
-Taujih Ruhiyah, Al-Bilali, Abdul Hamid

Habib Salim Bin Jindan


Habib Salim bin JindanTambah Gambar


Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan.

Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.


Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.
Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.” Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.”
Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.
Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.

Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.
Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.
Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.”
Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa -- menurut keyakinan Habib -- belum mati, masih hidup.”
“Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.
Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.
Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.
Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.
Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga. ”Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.”

Rabu, 19 Mei 2010

Habib Ali bin Husein bin Muhammad Al-Alltas


Habib Ali bin Husein Al-Attas (Bungur)

Habib Ali bin Husein Al-Attas, beliau lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Beliau merupakan rantai jaringan Ulama Betawi sampai sekarang ini. Beliau memiliki jasa yang sangat besar dalam menorehkan jejak langkah dakwah dikalangan masyarakat Betawi. Beliau menjadi rujukan umat di zamannya, Al-Habib Salim bin Jindan mengatakan bahwa Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas dan Al-Habib Ali Kwitang bagaikan kedua bola matanya, dikarekan keluasan khazanah keilmuan kedua habib itu.

Silsilah beliau adalah : Al-Habib Ali bin Husein bin Muhammad bin Husein bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas bin Agil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Mauladawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammmad Sahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-‘Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Ali Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.

Beliau lahir di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 H, bertepatan dengan 1889 M. semenjak usia 6 tahun beliau belajar berbagai ilmu keislaman pada para ulama dan auliya yang hidup di Hadramaut saat itu, sebagaimana jejak langkah generasi pendahulunya, seelah mendalami agama yang cukup di Hadramaut, pada tahun 1912 M beliau pergi ke tanah suci unuk menunaikan haji serrta berziarah ke makam datuknya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam di Madinah. Disana beliau menetap di Makkah. Hari-hari beliau dipergunakan untuk menimba ilmu kepada para ulama yang berada di Hijaz. Setelah 4 tahun (tak banyak sejarawan yang menulis bagaimana perjalanan beliau hingga kemudian tiba di Jakarta) setelah menetap di Jakarta, beliau berguru kepada para ulama yang berada di tanah air,diantaranya : Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Empang-Bogor), Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas (Pekalongan) dan Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (Bondowoso).

Di daerah Cikini beliau tinggal, sebuah kampung yang masyarakatnya hidup dibawah gais kemiskinan. Beliau tinggall bersama-sama rakyat jelata. Setiap orang mengenal Habib Ali, pasti akan berkata “hidupnya sederhana,tawadhu’,teguh memegang prinsip, menolak pengkultusan manusia, berani membela kebenaran, luas dalam pemikiran, mendalam di bidang ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan yang kaya dan yang miskin, mendorong terbentuknya Negara Indonesia yang bersatu, utuh serta berdaulat, tidak segan-segan menegur para pejabat yang mendatanginya dan selalu menyampaikan agar jurang antara pemimpin dan rakyat dihilangkan, rakyat mesti dicintai,”hal inilah yang menyebabkan rakyat mencintai Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas, beliau tidak pernah menadah tangannya kepada orang-orang kaya harta, sebab beliau memiliki kekayaan hati, beliau tidak mau menengadahkan tangannyadibawah, kecuali hanya memohon kepada Rabbul ‘Alamin. Beliau memiliki ketawakalan yang tinggi kepada Allah azza wa jalla. Beliau selalu mengorbankan semangat anti penjajah dengan membawakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang menganjurkan melawan penjajah. “Penjajah adalah penindas, kafir dan wajib diperangi” begitulah yang sering beliau ucapkan. Beliau tergolong pejuang yang anti komunis. Pada masa pemberontakan PKI, beliau selalu mengatakan bahwa “PKI dan komunis akan lenyap dari bumi Indonesia dan rakyat akan selalu melawan kekuatan atheis. Ini berkah perjuangan para ulama dan auliya yang jasadnya bertebaran di seluruh nusantara”.

Semasa hidupnya beliau tidak pernah berhenti dan tak kenal lelah dalam berdakwah. Salah satu karya terbesar beliau adalah kitab Tajul A’ras fi Manaqib Al-Qutub Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Attas, sebuah kitab sejarah para ulama Hadramaut yang pernah beliau jumpai, dari masa penjajahan Inggris di Hadramaut, sehingga sekilas perjalanan para ulama Hadramaut di Indonesia. Buku itu juga berisi tentang beberapa kandungan ilmu tasawuf dan Thariqah Alawiyah.

Semasa hidupnya beliau selalu berjuang membela umat, kesederhanaan serta istiqomahnya dalam mempraktekkan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari menjadi taulan yang baik bagi umat.

Beliau selalu mengajarkan dan mempraktekkan bahwa islam mengajak umat dari kegelapan pada cahaya yang terang, membawa dari taraf kemiskinan kepada taraf keadilan dan kemakmuran dan beliau pun wafat pada tanggal 16 Februari 1976, jam 06:10 pagi dam usia 88 tahun dan beliau dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, condet Jakarta timur.